Pada mulanya adalah sebuah perbedaan yang melahirkan sebuah hambatan. Untuk kemudian maju lahirlah sebuah upaya untuk menyamakan persepsi. Lahirlah sebuah komunikasi, sebagai jembatan, menghapus tembok-tembok ( gap ) yang memisahkan satu sama lain.
Tiba-tiba saja, dunia sudah selangkah lebih maju dan menghentak-hentak. Ribuan dinding-dinding seakan menginvasi bumi lagi. Bagaimana setiap orang menciptakan tembok bagi dirinya masing-masing dengan sepermak bedak salon, kaca-kaca mobil mewah, gedung-gedung mall yang sombong. Lagi-lagi tembok sengaja diciptakan, sedangkan mereka berteriak-teriak naikkan gaji pensiunan.
Dimana kampus dan sekolah-sekolah yang dibayar dengan segepok uang tebal, yang digadang-gadang untuk melahirkan generasi pendobrak bangsa dari keterpurukan. Dimana dosen pada mulanya takut pada mahasiswa, tapi mereka bangkit dan mulai bersatu memperkuat benteng, agar tak diberangus lagi oleh mahasiswa seperti masa yang sudah-sudah. Lagi-lagi tembok sengaja diciptakan, sedangkan mereka berteriak-teriak naikkan gaji pensiunan.
Lalu ada resolusi buat-buatan, untuk mempekerjakan masyarakat minor ke luar negeri. Lalu apa bedanya mereka dengan mafia perdagangan wanita dan anak-anak kecil. Di sini, legalisasi itu harga mati. Semua yang legal berarti baik. Seakan-akan untuk mencapai Terminal Arjosari lewat KarangPloso itu melanggar hukum. Sedangkan kita semua tahu, Tuhan menciptakan agama yang berbeda-beda. Agama yang berbeda-beda hanya alat untuk menemukan Tuhan. Sedangkan, Tuhan hanya satu. Dan, mereka berteriak-teriak hukum pancung, luluh lantakkan Indonesia. Lagi-lagi tembok sengaja diciptakan, sedangkan mereka berteriak-teriak naikkan gaji pensiunan.
Tapi mimpi hanya mimpi, realitas tetap berjalan di tempatnya.
Bagaimana saya tidak trenyuh, ketika melihat bapak-bapak dengan seraut wajah kuyu memanggul kayu bakar berjalan kaki. Bagaimana gelak tawa anak-anak kecil di jalanan itu serasa dipaksakan, itu bukan tawa riang, itu tawa yang kering. Atau, bapak dengan tanpa tangan dan kaki mencoba mencari belas kasih di pasar-pasar, merangkak, menyayat.
Bagaimana geramnya nasib buruh di luar negeri, sedang untuk membalas, membela diri pun salah. Bagaimana nikmat seorang duta besar hanya mengecam, lalu direkam pada setiap kejadian dan yang terucap hanya mengecam.
Kemudian saya ingat ayah dan ibu di rumah. Rindu. Saya ingin pulang!!
Sepertinya, realita akan terus berjalan di tempat, sendiri. Kami sibuk mencari mimpi, sibuk mendewasakan diri, sibuk menebalkan imaji.
Di Berlin, tembok dibangun karena banyak pemuda melarikan diri ke Jerman Barat karena Jerman Timur tidak mampu menghidupi mereka dengan layak.
Di sini, kemiskinan tak menyediakan banyak pilihan. Mungkin, harus ada lagi permberontakan, harus ada lagi anjing-anjing herder yang mati. Atau, dijadikan monumen?, seperti tembok besar China, ataupun Berlin.
Sebenarnya antara individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena adanya sifat saling membutuhkan untuk mmpertahankan eksistensinya. Namun dalam masyarakat sering terjadi perbedaan, karena memang masyarakat terdiri dari individu-individu yang saling berlainan. Dengan adanya perbedaan ini individu-individu yang merasa memilki kesamaan cenderung untuk berkumpul membentuk kelompok sendiri yang lama-kelamaan akan terbentuk suatu tingkatan masyarakat yang disebut pelapisan sosial, dan seiring dengan terbentuknya pelapisan sosial tersebut peran dan status masing masing lapisan juga akan terbentuk.
Pelapisan sosial sendiri berbeda-beda di setiap suku dan daerah di Indonesia, misalnya tentang kedudukan masing-masing gender di masyarakat. Dalam suku Jawa kedudukan pria lebih tinggi daripada kedudukan wanita Jawa, karena mayoritas suku Jawa beragama Islam sehingga kedudukan masing-masing gender dalam masyarakat juga mengikuti aturan islam meninggikan derajat pria karena lebih cocok sebagai pemimpin daripada wanita. Dan sebaliknya keadaan di suku Minangkabau, peranan wanita lebih tinggi daripada pria, sehingga wanitalah yang menjadi kepala keluarga, bukannya pria. Di beberapa daerah Indonesia juga terjadi perbedaan peran pria dan wanita dalam mencari nafkah, walaupun mayoritas daerah di Indonesia menjadikan peran pria dalam mencari nafkah untuk keluarga lebih besar daripada wanita, di daerah Bali dan Irian mengharuskan wanita untuk bekerja lebih banyak daripada pria untuk menghidupi keluarganya. Kita tidak bisa menyalahkan pelapisan sosial ini kerena ini terjadi secara sendirinya dalam masyarakat itu sendiri, dan telah diakui dan dijalankan turun temurun.
Pelapisan sosial dapat dibedakan menjadi dua, pelapisan terbuka dan pelapisan tertutup. Dalam pelaisan masyarakat terbuka, masyarakat telah ditetapkan dalam tingkatan tertentu dalam lapisan masyarakat sejak mereka lahir dan hanya dapat diubah dengan perkawinan. Dalam pelapisan ini, masyarakat dipaksa untuk mengikuti aturan yang telah dijalankan turun-temurun, dan jika tidak mengikutinya orang tersebut akan menerima sanksi sosial dari masyarakat itu sendiri. Yang kedua adalah palapisan masyarakat terbuka, dalam pelapisan ini masyarakat dibebaskan untuk memilih lapisan masyarakat mereka sendiri, dan pelapisan ini berdasarkan dengan hasil yang diperoleh setelah usaha perubahan pelapisan sosial yang dilakukannya. Hasil tersebut bisa berupa kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan pengetahuan yang akan meningkatkan atau bahkan menurunkan tingkat pelapisan masyarakat seseorang.
Dalam masyarakat moderen pelapisan sosial tidak dapat dipisahkan dari kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini tidak memandang individu, strata, tahta, harta, ataupun gender. Karena dalam masyarakan moderen kedudukan semua manusia adalah sama tanpa adanya batasan apapun. Kesamaan derajat ini juga telah diatur oleh hukum di Indonesia yang bertujuan untuk melindungi hak-hak masing-masing warga negara indonesia baik yang tingggal di Indonesia maupun di luar negeri.
Kesamaan derajat ini dibedakan menjadi kesamaan hak dan kesamaan derajat. Kesamaan hak maksudnya adalah setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sedangkan kesamaan derajat maksudnya adalah, derajat setiap individu di mata hukum di dindonesia adalah sama tak ada satupun individu yang kebal hukum selama masih menginjakkan kakinya di indonesia. Kesamaan derajat ini memang harus diperjuangkan, meskipun telah diatur oleh hukum, kelangsungan kesamaan derajat ini masih rentan untuk disalahgunakan oleh oknum untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Karena itu budaya masyarakat yang sadar hukum harus dikembangkan dan ditularkan, untuk melindungi hak-hak mereka sendiri sehingga tebentuklah masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sumber:
http://nurmaheryani.blogspot.com/2011/12/kesamaan-derajat.html
http://anugerahpekerti19.blogspot.com/2011/11/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat.html